Selasa, 22 Maret 2022

BENCANA SEKULERISME

. 
Memahami bahaya pendidikan sekuler yang dipaksakan oleh penjajah, Natsir banyak menulis dan berpidato tentang bahaya sekulerisme. Salah satunya, pidato Natsir di Majelis Konstituante, 2 November 1957, yang sangat terkenal. Ketika itu, Natsir antara lain mengingatkan:

"Sekulerisme, ladiniyah, tanpa agama, Saudara Ketua, tidak bisa memberi keputusan jika ada pertentangan pikiran berkenaan dengan konsepsi masyarakat, hidup sempurna dan sebagainya. Pertentangan tentang konsep manusia itu tidak mungkin diselesaikan dengan paham sekulerisme yang pada hakekatnya merelatifkan semua pandangan-pandangan hidup.

Paham agama adalah sebaliknya. Ia memberikan dasar yang terlepas dari relativisme. Inilah sebabnya mengapa konsepsi “humanity” yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah. Segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang tetap, harus mempunyai apa yang dimaksud dengan point of reference, titik tempat memulangkan segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap, maka niscaya krisis dan bencana akan timbul. 

Agama memberi kepada pemeluknya lebih banyak kemungkinan untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Segala filsafat yang sekuler mengakui sebagaimana juga dasar berpikir, yaitu empirisme (mahalul tajribah), rasionalisme (mahalul-aqly), dan intuitionisme (mahalul-ilhami). (tapi) Dasar wahyu ---revelation atau pun open baring--- tidak diakuinya. Agama lebih daripada itu. Ia mengakui semuanya itu dan memberikan ketentuan yang tegas dimana daerah berlakunya masing-masing. Karena itu agama lebih luas dan lebih dalam daripada paham sekuler.”

Inilah penutup pidato Mohammad Natsir: 

“Dalam menghadapi pekerjaan kita yang menentukan perkembangan bangsa kita selanjutnya turun-temurun, kita sesungguhnya tak dapat melepaskan diri dari pokok persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam abad ke-20  ini. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi yang luar biasa telah memberikan taraf kehidupan materi paling tinggi dalam sejarah manusia. Dalam kegiatan menaklukkan materi yang ada di sekelilingnya, manusia lupa kepada dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan. 

Maka disamping segala hasil kemajuan materi yang berlimpah-limpah itu, disertai oleh berpalingnya manusia dari tuntunan Ilahi, ternyatalah segala sesuatunya mengakibatkan pula kehilangan pegangan dan keseimbangan hidup. Kehilangan keseimbangan hidup yang amat berbahaya itu justru semakin kelihatan gejala-gejalanya dalam kalangan mereka yang paling maju dalam sekulerisme yang hanya pandai merusakkan nilai-nilai hidup beragama tetapi sama sekali tidak mampu memberi pegangan hidup yang teguh sebagai penggantinya. 

Dengan kemampuannya untuk menguasai dan mempergunakan kekuatan alam sekitarnya, dengan maksud untuk mencapai taraf hidup yang lebih terkurung di dalam lingkaran kekhawatiran dan ketakutan, mengingatkan bencana yang akan menimpa (dan) menghancurleburkan umat manusia, disebabkan oleh hasil ilmu dan buatan tangannya sendiri. “Telah merajalela kerusakan di darat dan di laut, yang diperbuat oleh tangan manusia, supaya dirasakan oleh mereka sebagian dari apa yang diperbuat oleh mereka, agar mereka sadar Kembali.” (Ar-Rum: 41).

Mereka yang mulai sadar akan bencana yang mengancam itu, mulailah mencari-cari jalan Kembali, untuk memperoleh pegangan hidup dan keseimbangan hidup. Pada akhirnya pokok persoalan kembali kepada pilihan orang di persimpangan jalan, apakah akan meneruskan sekulerisme dengan segala akibatnya, ataukah akan kembali kepada tuntutan Ilahi, sehingga akan terbuktilah  firman Ilahi: “Akan Kami perlihatkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di seluruh jagad dan dalam hati mereka sendiri, sehingga menjadi teranglah bagi mereka apa yang dari Kami itu. Itulah yang haq dan benar.” (al-Fushilat: 53).

Maka, Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan keluarganya dari arus sekulerisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan kalbunya, seimbang dengan akhlak dan budi pekertinya, yang hanya didapat dengan kembali kepada tuntunan Ilahi.” (*Pidato lengkap M. Natsir ini juga dimuat dalam buku, “Agama dan Negara dalam Perspektif Islam”, Jakarta: DDII, 2001, hal. 195-230). 

***

[Tulisan saya kutip dari buku Dr. Adian Husaini, “Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi", hal. 41-44]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar