Senin, 14 Agustus 2023

DEKOLONISASI

DEKOLONISASI. Kolonisasi (perpindahan wilayah huni) pada dasarnya adalah kosakata yang netral. Namun dalam perjalanannya, kata tersebut berkembang menjadi sebuah paham (isme) yang kemudian memiliki makna dan arti negatif. Kita akhirnya menyamakannya sebagai penjajahan bangsa Barat (Eropa) atas bangsa Timur (Asia dan Afrika). 

Dalam perjalanan terbentuknya bangsa jajahan, eksploitasi tidak hanya mencakup tanah atau wilayah geografi. Melainkan sampai pada tahap eksploitasi pemikiran. Konsep pribumi malas adalah hasil dari studi (antropologi) kolonial Belanda atas wilayah jajahannya. Hasil kajian itu mereka anggap sebagai ilmu, sementara studi dekolonisasi kontemporer menyatakan pemikiran tersebut sebagai mitos. 

Jika kolonisasi kita anggap sebagai penjajahan, maka studi dekolonisasi (penghapusan penjajahan pemikiran) dalam buku ini adalah upaya untuk menghapuskan penjajahan (pemikiran) tersebut. 

DR. Muhamamd Rofiq Muzakkir, yang adalah dosen Prodi HI di UMY dalam buku ini, tidaklah menuliskan hasil studi yang bersifat murni gagasannya. Melainkan menyusun gagasan-gagasan pemikir awal studi Dekolonisasi yang dimulai dari Edward W Said melalui karyanya dalam buku 'Orientalism' yang terbit tahun 1978, sampai studi kontemporer saat ini --yang sebagiannya adalah pengembangan dari buku Orientalism tersebut. 

Jadi, buku yang merupakan kumpulan catatan dari disertasi penulisnya selama di Arizona State University (2017-2020) ini adalah semacam prolegomena atau pengantar, yang menguraikan secara detail bagaimana studi dekolonisasi terbentuk dan menjadi satu cabang ilmu tersendiri. 

Saya secara pribadi berterima kasih kepada DR. Rofiq yang mengenalkan saya lebih dalam kepada banyak pemikir seperti Edward W Said, Talal Asad (dan murid-muridnya), Joseph Massad, Khaled Abou El-Fadl, Wael Hallaq, dan masih banyak lagi. Setelah membaca buku ini, jujur saya ingin membaca karya mereka semua. 

Siapa pun di antara kita yang tertarik mempelajari diskursus pemikiran Islam kontemporer, tidaklah lengkap jika belum membaca karya ini.

Salam 
Iwan Mariono

Rabu, 14 Desember 2022

DARI PENJARA KE PENJARA

Gambaran kondisi ekonomi-politik Tiongkok seabad yg lalu (1920an) dalam otobiografi Tan Malaka ini, adalah kebalikannya, jika kita bandingkan dengan kondisi negeri tersebut sekarang. Justru merekalah kini salah satu yang menjadi pelaku sekaligus pengendali utama. 

Demikian Tan Ibrahim Malaka mencatat: 

"Kita sering benar melihat nama perusahaan atau toko seperti Anglo-Chinesee ini atau itu ialah kongsi Inggris-Tionghoa, Sino American ini atau itu (kongsi Tionghoa-Amerika) dan lain-lain. Pada perusahaan tersebut modal Inggris atau Amerika 'kerja sama' dengan modal Tionghoa. 

Biasanya modal asing lebih besar daripada modal Tionghoa, berbanding umpamanya 60:40. Dengan begitu sendirinya bangsa asinglah yang menjadi manajer ialah kepala perusahaan. Sedangkan Tionghoa menjadi wakilnya. 

Kapitalis Tionghoa yang 'kerja sama' semacam itu dengan orang asing dinamai Compradore. Dialah terutama yang menyelenggarakan perkara tenaga buruh, pasar dan langganan. Pengetahuan tentang hal ini tentulah tiada dimiliki oleh kapitalis asing. Sebaliknya pula perkara teknik dan administrasi secara modern tiadalah dimiliki oleh kapitalis Tionghoa. 

Dengan 'kerja sama' Tionghoa dan asing itu timbullah dan tumbuhlah modal yang boleh kita namakan kapital-compradore. 

Sudahlah tentu dalam 'kerja sama' semacam itu, dimana orang asing mempunyai modal lebih besar; pengetahuan tentang teknik dan administrasi lebih tinggi; kekuasaan politik dalam pemerintahan kota boleh dikatakan sama sekali di tangan asing; dan perlindungan atas kepastian hukum (rechts-zekerheid) dan kepastian perusahaan (bedrijfszekerheid) berada di pihak bangsa asing, maka tentulah sifat kapital-compradore itu buat Tionghoa ialah perbudakan modal semata-mata. 

Si Compradore adalah budaknya kapitalis bangsa asing buat mencarikan buruh (tenaga), pasar, dan langganan. Perbudakan itu terjamin pula oleh modal Tionghoa yang ditaruhkannya dalam peti modal asing."

*Tan Malaka, "Dari Penjara ke Penjara" hlm. 244-245 | Penrbit Narasi

**Aslinya tulisan itu hanya terdiri dari satu paragraf, demi memudahkan pembaca status, sy bagi menjadi enam.

Minggu, 24 April 2022

BLOOD DIAMOND

Ini film barat favorit saya sejak 15 tahun lalu. Bahkan tugas membuat review dalam bahasa Inggris di sekolah waktu itu yang saya ceritakan adalah kisah dalam film ini. Hehe. 

Setelah menonton ulang di Netflix, ternyata ada banyak hal baru saya ketahui yang dulu tidak pernah terpikirkan sama sekali kecuali hanya adegan baku tembak dan konflik perebutan berlian sebesar telur ayam antara Danny Archer yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio dan bosnya. 

Mulai dari kisah perang saudara, penderitaan rakyat kulit hitam Afrika, penyelundupan hasil tambang ilegal, bisnis di pasang gelap berlian berdarah hingga sampai ke Eropa dan Amerika, intrik politik antar penguasa, dan lain-lain tersaji dalam film ini. 

Dengan kemudahan akses internet kita bisa mencari tahu info jauh lebih banyak dari yang disajikan di film. Hal yang tidak bisa dilakukan 15 tahun yg lalu. 

Film diangkat dari kisah nyata, sesuai judulnya, bercerita tentang berlian yang menjadi sumber pertumpahan darah, perang saudara selama sebelas tahun (1991-2002) yang merenggut nyawa sekitar 200.000 jiwa di Sierra Leone. 

Perang tersebut antara pemerintah yang sah melawan gerombolan bersenjata bernama RUF (Revolutionary United Front), yang kemudian berubah partai politik berhaluan nasionalis. 

Kekejaman RUF yang banyak menembak mati warga sipil, mengeksploitasi anak dibawah umur untuk dilibatkan dalam perang, menjadi drama utama dalam film ini.

Danny Archer (Leonardo DiCaprio) sebagai mafia penyelundup berlian dan Solomon Vandy (Djimon G. Hounsou) mewakili warga sipil yang kehilangan anak dan istrinya menjadi aktor utama dalam film ini. Ditambah satu lagi seorang jurnalis perang bernama Maddy Bowen (Jennifer Connelly), yang di akhir menjadi penulis lengkap kisah mereka berdua di atas. 

Hmm, buat yang belum menonton, daripada spoiler, mending langsung buka Netflix. Hehe.

Selasa, 22 Maret 2022

BENCANA SEKULERISME

. 
Memahami bahaya pendidikan sekuler yang dipaksakan oleh penjajah, Natsir banyak menulis dan berpidato tentang bahaya sekulerisme. Salah satunya, pidato Natsir di Majelis Konstituante, 2 November 1957, yang sangat terkenal. Ketika itu, Natsir antara lain mengingatkan:

"Sekulerisme, ladiniyah, tanpa agama, Saudara Ketua, tidak bisa memberi keputusan jika ada pertentangan pikiran berkenaan dengan konsepsi masyarakat, hidup sempurna dan sebagainya. Pertentangan tentang konsep manusia itu tidak mungkin diselesaikan dengan paham sekulerisme yang pada hakekatnya merelatifkan semua pandangan-pandangan hidup.

Paham agama adalah sebaliknya. Ia memberikan dasar yang terlepas dari relativisme. Inilah sebabnya mengapa konsepsi “humanity” yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah. Segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang tetap, harus mempunyai apa yang dimaksud dengan point of reference, titik tempat memulangkan segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap, maka niscaya krisis dan bencana akan timbul. 

Agama memberi kepada pemeluknya lebih banyak kemungkinan untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Segala filsafat yang sekuler mengakui sebagaimana juga dasar berpikir, yaitu empirisme (mahalul tajribah), rasionalisme (mahalul-aqly), dan intuitionisme (mahalul-ilhami). (tapi) Dasar wahyu ---revelation atau pun open baring--- tidak diakuinya. Agama lebih daripada itu. Ia mengakui semuanya itu dan memberikan ketentuan yang tegas dimana daerah berlakunya masing-masing. Karena itu agama lebih luas dan lebih dalam daripada paham sekuler.”

Inilah penutup pidato Mohammad Natsir: 

“Dalam menghadapi pekerjaan kita yang menentukan perkembangan bangsa kita selanjutnya turun-temurun, kita sesungguhnya tak dapat melepaskan diri dari pokok persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam abad ke-20  ini. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi yang luar biasa telah memberikan taraf kehidupan materi paling tinggi dalam sejarah manusia. Dalam kegiatan menaklukkan materi yang ada di sekelilingnya, manusia lupa kepada dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan. 

Maka disamping segala hasil kemajuan materi yang berlimpah-limpah itu, disertai oleh berpalingnya manusia dari tuntunan Ilahi, ternyatalah segala sesuatunya mengakibatkan pula kehilangan pegangan dan keseimbangan hidup. Kehilangan keseimbangan hidup yang amat berbahaya itu justru semakin kelihatan gejala-gejalanya dalam kalangan mereka yang paling maju dalam sekulerisme yang hanya pandai merusakkan nilai-nilai hidup beragama tetapi sama sekali tidak mampu memberi pegangan hidup yang teguh sebagai penggantinya. 

Dengan kemampuannya untuk menguasai dan mempergunakan kekuatan alam sekitarnya, dengan maksud untuk mencapai taraf hidup yang lebih terkurung di dalam lingkaran kekhawatiran dan ketakutan, mengingatkan bencana yang akan menimpa (dan) menghancurleburkan umat manusia, disebabkan oleh hasil ilmu dan buatan tangannya sendiri. “Telah merajalela kerusakan di darat dan di laut, yang diperbuat oleh tangan manusia, supaya dirasakan oleh mereka sebagian dari apa yang diperbuat oleh mereka, agar mereka sadar Kembali.” (Ar-Rum: 41).

Mereka yang mulai sadar akan bencana yang mengancam itu, mulailah mencari-cari jalan Kembali, untuk memperoleh pegangan hidup dan keseimbangan hidup. Pada akhirnya pokok persoalan kembali kepada pilihan orang di persimpangan jalan, apakah akan meneruskan sekulerisme dengan segala akibatnya, ataukah akan kembali kepada tuntutan Ilahi, sehingga akan terbuktilah  firman Ilahi: “Akan Kami perlihatkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di seluruh jagad dan dalam hati mereka sendiri, sehingga menjadi teranglah bagi mereka apa yang dari Kami itu. Itulah yang haq dan benar.” (al-Fushilat: 53).

Maka, Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan keluarganya dari arus sekulerisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan kalbunya, seimbang dengan akhlak dan budi pekertinya, yang hanya didapat dengan kembali kepada tuntunan Ilahi.” (*Pidato lengkap M. Natsir ini juga dimuat dalam buku, “Agama dan Negara dalam Perspektif Islam”, Jakarta: DDII, 2001, hal. 195-230). 

***

[Tulisan saya kutip dari buku Dr. Adian Husaini, “Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi", hal. 41-44]

Jumat, 11 Maret 2022

RINGKASAN BUKU ISLAMISASI NUSANTARA

Baru sampai halaman 485 membaca bukunya Ricklefs "Mengislamkan Jawa", saya putuskan untuk jeda sejenak dan iseng membuka buku ini, kebetulan dekat jangkauan tangan. 

Baru di lembar pertama, saya langsung dibuat terkejut dan penasaran saat Pak Yai Ahmad Baso menyindir Ricklefs, dan menyamakan pemikirannya sebagai Snouck Hurgronje masa kini. Maka saya putuskan untuk membaca terus buku ini sampai habis. 

***

Saya mencoba meringkas buku yg sebenarnya adalah ringkasan dari buku beliau "Jaringan Ulama-Wali Songo: Islam Nusantara jilid 3" yg akan segera terbit. 

1. Buku ini diawali dengan kritik terhadap para penulis orientalis dan para pengikutnya yg menegasikan peran dan keberadaan Wali Songo, dibuktikan dengan penolakan mereka terhadap sumber-sumber di luar yg ditulis oleh kalangan mereka sendiri. Sumber-sumber di luar bahasa Inggris dan Arab ditolak dan dianggap hanya sebagai dongeng, misal babad, hikayat dan syair. Bukan hanya orang luar, bahkan sejarawan asli Indonesia pun berpikiran seperti itu, yg paling terkenal adalah Sartono Kartodirjo, diikuti oleh murid-muridnya seperti (yg masih hidup) Prof. Taufik Abdullah. 

2. Apa pentingnya orang dalam (muslim) meneliti sumber sejarah Islamisasi Nusantara berdasarkan rujukan yg juga ditulis oleh ulama kita sendiri, yakni para habaib dan kiai-kiai di masa lalu? Ada perbedaan mendasar dalam sikap batin seorang penulis. Pak Yai Baso menulis: para orientalis itu tidak akan sanggup masuk ke dalam ruang batin kita, dan tidak bisa pula masuk ke "ke-kita-an" kita itu.   Karena mereka menghadapi masalah kolonialisme, penaklukan, dan penjajahan atau mereka menjadi bagian utama masalah itu. 

3. Islamisasi Nusantara bukanlah datang dari India seperti yg diamini oleh Snouck Hurgronje; China seperti yg diakui HJ. de Graaf; dan Persia seperti yg didukung oleh Robert N Bellah. Islamisasi itu adalah proyek besar yg butuh energi dan biaya yg besar, langsung dari Arab (Hadramaut, kini Yaman) oleh kaum Alawiyyin (sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yg memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW). Mereka hanya singgah di India (Malabar, Gujarat, Benggala) kemudian ke China dan Campa (Vietnam sekarang), tapi perjalanan itu tidak terhenti di sana, karena tujuan akhirnya adalah Nusantara (Samutera Pasai, Jawa dan Sulawesi Selatan).

4. Berbeda dengan di tempat lain yg konfliknya bisa dirasakan bahkan sampai sekarang. Proses Islamisasi Nusantara tidak melalui jalur kekuasaan politik, tapi kultural (sufi). Tidak memakai pedang tapi melalui monopoli perdagangan. Maka penerimaan terhadap Islam pun terjadi secara besar-besaran. Ini sangat nyambung (jika kita baca bukunya Drs. Agus Sunyoto, "Atlas Wali Songo") dengan teorinya bahwa sebenarnya agama Hindu Budha itu adalah agama yg hanya diyakini oleh segelintir orang terutama para elit kerajaan, dan bukan oleh masyarakat pada umumnya yg mereka adalah penganut kapitayan atau animisme jika menggunakan diksi orientalis. Kapitayan inilah yg secara teologi lebih dekat dengan konsep tawhid dalam Islam.

5. Kenapa proses Islamisasi Nusantara oleh Wali Songo itu berhasil, karena terlebih dahulu secara tidak langsung mereka berhasil melakukan Islamisasi terhadap bahasa. Ini penting, karena bahasa adalah simbol, jika ingin memasuki ruang batin suatu kaum, maka tidak bisa tidak kita harus melakukan pribumisasi terhadap bahasa setempat. Dalam buku ini, kita menyebut pribumisasi itu sebagai angajawi (proses penjawaan atau proses pe-Nusantara-an), maka mulailah ulama-ulama kita itu menulis dalam bahasa setempat.

6. Proses-proses Islamisasi di atas itu hampir tidak kita temukan di buku-buku para orientalis atau penulis-penulis barat, termasuk Ricklefs yg sudah kita sebut namanya di atas, yg ada (dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008) malah hanya membahas pengaruh Arab jauh setelah Islam sudah tertanam di hati masyarakat Nusantara, yakni gerakan purifikasi yg terinspirasi dari tokoh Muhammad bin Abdul Wahhab atau yg dikenal sebagai Wahhabi. 

7. Pak Yai Baso tidak hanya menolak purifikasi ala Wahhabi, tapi juga liberalisme yg digaungkan oleh Islam reformis ala Fazlur Rahman yg murid-muridnya banyak menjadi intelektual besar di Indonesia. Akhirnya dalam panggung sejarah yg menjadi pemenangnya adalah, sebagaimana beliau menulis: sarjana penuh heroisme semangat "ilmiah" barang impor dari Barat plus purifikasi agama. 

8. Sebenarnya masih informasi detail yg tidak bisa dilewatkan begitu saja dalam buku ini, istilah-istilah yg justru menjadi kata kunci petunjuk sekaligus sanggahan, tapi tidak mungkin saya tulis semua di sini, karena jadinya bukan ringkasan nanti. 🙂

Minggu, 22 Juli 2012

Segitiga Terbalik

Segitiga lancip dan segitiga lancip terbalik, itulah mungkin istilah yg tepat untuk mendeskripsikan antara wanita dan pria yg cerdas. Semakin pintar se'orang pria semakin d'kagumi oleh orang2 d'sekitarx. Sebalikx wanita yg cerdas adalah wanita yg paling d'takuti dan d'segani oleh orang2 d'sekitarx, pria manapun segan terhadap wanita seperti mereka,, Namun, apapun alasan perbedaan itu, tulisan ini adalah salah satu bentuk kekagumanku pada orang2 seperti mereka.. :)